Salah satu amanat dari Pembukaan Undang – undang Dasar Republik Indonesia adalah Mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai dan memenuhi amanat tersebut, maka optimalisasi peran Pemerintah dalam dunia kependidikan adalah langkah efektif untuk merealisasikan amanat tersebut. Dalam upaya merealisasikan amanat tersebut Pemerintah juga harus melihat dari segala persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Terutama dalam hal ekonomi, baik yang dihadapi oleh masyarakat ekonomi lemah sampai kalangan ekonomi menengah.
Ketika Mencerdaskan Kehidupan Bangsa menjadi bagian dari Undang-undang, maka kita tentu akan berfikir bagaimana langkah-langkah ideal yang harus ditempuh guna mewujudkan pernyataan tersebut sehingga benar-benar tercipta masyarakat berpendidik yang berkualitas. Pendidikan, adalah jalan bagi kita untuk menciptakan generasi yang akan membawa perubahan Negeri ini untuk menuju puncak kejayaannya. Ketika pendidikan dipandang sebelah mata oleh Pemerintah dan masyarakat, maka bersiaplah untuk menyalami kehancuran, karena hanya dengan pendidikan, generasi muda yang akan membangun Negerinya.
Namun, bagaimanakah semua itu dapat terwujud apabila masih ada beberapa warga yang merasa kewalahan karena biaya pendidikan yang begitu mahal? Berbagai femonena yang terjadi dimasyarakat adalah diskriminasi yang dirasakan oleh masyarakat dalam mengenyam pendidikan, terutama pendidikan ditingkatan wajib belajar 9 tahun dan SMU/SMK. Hal tersebut dapat kita lihat dari beberapa persoalan yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia termasuk Sumbawa. Tidak semua kalangan dapat menikmati pendidikan secara maksimal baik dalam hal fasilitas dan sarana – prasarana maupun dari segi potensi tenaga pendidik. Masih begitu banyak sekolah – sekolah dengan yang kondisi fisik yang begitu mengenaskan. Hal tersebut dapat berpengaruh pada hasil belajar yang dicapai oleh siswa.
Sudah ada upaya Pemerintah dalam mengatasi hal ini, yakni dengan cara merealisasikan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang sudah diterapkan di Sekolah-sekolah tingkat Sekolah Dasar dan SLTP. Yang mana dana ini berasal dari kompensasi naiknya harga BBM (Bahan Bakar Minyak).
Selain dari pada itu, pendidikan gratis yang diprogramkan oleh Pemerintah ternyata masih tidak dapat menyelesaikan persoalan pendidikan. Kebanyakan tenaga pendidik yang telah melaksanakan program sekolah gratis ini, merasa kekurangan dana. Sebab, dengan adanya pendidikan gratis ini, segala kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan daya kreativitas siswa dalam berbagai bidang (pengembangan diri/ekstrakulikuler) yang telah dicanangkan anggarannya, merasa bingung untuk mencari jalan keluar karena tak ada lagi masukan dari biaya sekolah yang biasanya dibebankan pada siswa melalui Uang Komite.
Dan pada kenyataannya, masih terdapat sekolah yang meminta pungutan terhadap orang tua siswa. Perguliran dana BOS juga tidak terjadi dengan bersih, masih terjadi korupsi dalam penyalurannya ke sekolah-sekolah.
Menurut saya, sah-sah saja memungut biaya Komite pada siswa. Tetapi akan lebih baik apabila Komiter tersebut tidak menentukan seberapa banyak siswa harus membayar dan tidak diwajibkan di tiap sekolah. Komite akan disambut hangat oleh siswa apabila pungutan biayanya adalah biaya sukarela. Mereka yang mampu, mungkin bisa menyumbang lebih banyak dan mereka yang kurang mampu boleh menyumbang atau tidak menyumbang bukanlah suatu hal yang harus dipermasalahkan. Dan justru dengan paksaan bahwa siswa harus membayar segini, saya jamin siswa-siswa itu tidak akan sudi untuk membayar sekolahnya dan justru mencap Sekolahnya itu matre, padahal sekolah telah digratiskan bagi mereka yang duduk di bangku SD dan SMP.
Pada kenyataannya, dibutuhkan biaya yang besar untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang tinggi. Namun, bagaimana jika dengan harga yang mahal saja masih belum dapat meningkatkan mutu dan kualitas pada anak? Kalau begitu, mengapa biayanya tidak diturunkan saja? Atau malah ditiadakan! Sebab dengan mahalnya biaya pendidikan, mereka yang terdesak oleh faktor ekonomi, lebih cenderung untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi lewat cara bekerja, sementara persoalan SDM, yang hanya bisa ditingkatkan melalui pendidikan mulai terabaikan.
Di Negara-negara maju lainnya, anak yang termasuk dalam golongan atas tetap mendapat pendidikan gratis. Dan hal ini menimbulkan argumentasi dari rakyat. Bukankah ia berasal dari golongan mampu? Mengapa ia harus disamakan dengan anak-anak tidak mampu lainnya? Itu pernyataan yang ‘aneh’ karena memang setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan gratis, siapapun itu tanpa diskriminasi. Meski kadang juga ditemui golongan atas yang gengsi, merasa dirugikan dengan pendidikan gratis ini. Mereka tidak ingin disamakan dengan golongan lain. Sama sekali tidak ada alasan untuk malu karena mendapatkan biaya sekolah gratis. Kita justru malu jika sekolahnya berkualitas buruk.
Masih terdapat pula diskriminasi dalam program pendidikan gratis ini. Dimana diskriminasi tersebut terjadi di jenjang pendidikan yang dilaksanakan di Negeri ini, yakni jenjang pendidikan SMU. Pemerintah dalam hal ini seharusnya mempersiapkan program pendidikan gratis di tingkat SMU. Karena bila kita bandingkan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat antara SMP dan SMU sebelum pendidikan gratis dilaksanakan, tentunya biaya di tingkat pendidikan di tingkat SMU jauh lebih tinggi dibandingkan SMP. Jadi untuk mendapatkan hasil yang optimal dari amanat Undang-undang Dasar tersebut, maka jenjang pendidikan SMU juga harus digratiskan. Hal ini untuk menghindari gejolak khususnya pelajar yang merasa didiskriminasikan. Apalagi bagi mereka yang membatasi keinginan putra-putrinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMU dan akhirnya hanya berakhir di tingkat SMP. Padahal, apabila melihat syarat-syarat atau unsur-unsur dari kriteria seorang pekerja, maka tak jarang berbagai Perusahaan atau pihak mencantumkan pendidikan minimum adalah tingkat SMU.
Ketika masyarakat tidak mampu mendorong putra-putrinya untuk melanjutkan pendidikan SMU, tentunya akan menyebabkan terputusnya potensi yang telah dibangun ditingkat pendidikan sebelumnya. Apabila hal tersebut terjadi, maka akan terbuka peluang masyarakat untuk melakukan tidakan kriminal. Ketika persoalan-persoalan tersebut terjadi, maka hakikat dari “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” hanyalah sebuah harapan yang pupus.
Dari persoalan-persoalan yang terjadi itulah Pemerintah harus benar-benar berpikir ideal untuk menciptakan generasi emas. Dan marilah kita tidak menyangkutpautkan Negara kita ini dengan Negara-negara maju lainnya yang telah menerapkan sekolah gratis baik itu untuk mereka dari berbagai golongan dan jenjang pendidikan. Sebab, tak dapat dipungkiri Negara agraris kita ini masih tergolong dalam Negara berkembang. Namun seperti apa yang telah ditorehkan dalam Undang-Undang yakni “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” merupakan salah satu penyemangat bagi kita untuk membangun Negeri ini menjadi lebih baik lagi. Segala hambatan mengenai pendidikan gratis ini, marilah kita perbincangkan kembali mengenai dampak positifnya. Asalkan semua rakyat sama-sama setuju untuk membangun Negara kita ini menjadi Negara yang lebih maju, dengan kualitas SDM yang tinggi, hendaklah mempertimbangkan kembali petuah sekolah gratis ini. Jangan pernah samakan diri kita dengan bangsa lain, sebab kita tidak sama dengan mereka. Pendidikan adalah hal utama yang nantinya akan menjadi kebanggaan Negeri. Jangan mau kalah dengan Negara lain!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar