Jumat, 03 Juli 2009

Wilayah Perbatasan Asia Pasifik Telah Menjadi Sengketa

seperti biasa, kalo soal tugas-tugas sekolah, pasti pada diserahin ke saya. nah, tugas kali ini datangnya dari guru KWN saya Pak Asrofi. tugasnya adalah mencari salah satu contoh sengketa internasional. padahal, ini adalah tugas kelompok. tapi, tetep saya yang kerjain. hahaaahaaa...... nassib jadi orang pinter (hahahaaa!)

mau liat hasil kerja saya? monggoooooo.....

Wilayah Perbatasan Asia Pasifik Telah Menjadi Sengketa


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tak dapat disangkal, salah satu persoalan yang dapat memicu persengketaan antar negara adalah masalah perbatasan. Indonesia juga menghadapi masalah ini, terutama mengenai garis perbatasan di wilayah perairan laut dengan negara-negara tetangga.

1.2 Permasalahan
1. Apa saja yang menjadi penyebab terjadinya sengketa internasional?
2. Apa saja peran Indonesia dalam kepentingan internasional?
3. Apa hubungan sengketa Indonesia dan Asean?
4. Apa yang menjadi permasalahan kawasan perbatasan?
5. Apa saja kronologis yang terjadi antara Indonesia-Malaysia?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan tentang sengketa internasional dan faktor-faktor penyebabnya.
2. Menjelaskan peran Indonesia dalam kepentingan internasional.
3. Menjelaskan hubungan Indonesia dan Asean.
4. Menjelaskan tentang permasalahan kawasan perbatasan.
5. Menjelaskan kronologis yang terjadi antara Indonesia-Malaysia.


BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Sengketa Perbatasan
Bila dicermati, negara-negara di Asia Pasifik juga menghadapi masalah yang sama. Anggapan bahwa situasi regional sekitar Indonesia dalam tiga dekade ke depan tetap aman dan damai, mungkin ada benarnya, namun di balik itu sebenarnya bertaburan benih konflik, yang dapat berkembang menjadi persengketaan terbuka. Faktor-faktor yang dapat menyulut persengketaan antar negara dimaksud antara lain:
a. Ketidaksepahaman mengenai garis perbatasan antar negara yang belum terselesaikan melalui mekanisme perundingan (bilateral).
b. Peningkatan persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada di kawasan ini, maupun dari luar kawasan.
c. Eskalasi aksi terorisme lintas negara, dan gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman antar negara bertetangga.
Dengan melihat berbagai faktor di atas, beberapa pengamat politik menyimpulkan bahwa kawasan Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara, memiliki potensi konflik yang cukup tinggi, dan hal itu tentu berdampak bagi Indonesia.
Potensi konflik antar negara di sekitar Indonesia (kawasan Asia Pasifik) sesungguhnya sangat bervariasi. Baik sifat, karakter maupun intensitasnya. Namun memperhatikan beberapa konflik terbatas dan berinsentitas rendah yang terjadi selama ini, terdapat beberapa hal yang dapat memicu terjadi-nya konflik terbuka berintensitas tinggi yang dapat berkembang menjadi konflik regional bahkan internasional. Faktor potensial yang dapat menyulut persengketaan terbuka itu antara lain:
a. Implikasi dari internasionalisasi konflik internal di satu negara yang dapat menyeret negara lain ikut dalam persengketaan.
b. Pertarungan antar elite di suatu negara yang karena berbagai faktor merambat ke luar negeri.
c. Meningkatnya persaingan antara negara-negara maju dalam membangun pengaruh di kawasan ini. Konfliknya bisa berwujud persengketaan antar sesama negara maju, atau salah negara maju dengan salah satu negara yang ada di kawasan ini. Meski masih bersifat samar-samar, namun indikasinya dapat dilihat pada ketidaksukaan Jepang terhadap RRC dalam soal penggelaran militer di perairan Laut Cina Selatan yang dianggap menggangu kepentingan nasional Jepang. Sedangkan dalam konteks Indonesia, ASEAN, dan negara-negara maju, gejala serupa yang dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan (conflict of interesf) juga tercermin pada penolakan Amerika Serikat terhadap usul Indonesia dan Malaysia mengenai pembentukan "Kawasan Bebas Nuklir Asia Tenggara" (South East Asia Nuclear Free Zone) beberapa tahun lampau.
d. Eskalasi konflik laten atau konflik intensitas rendah (low intensity) antar negara yang berkembang melampaui ambang batas toleransi keamanan regional sehingga menyeret pihak ketiga terlibat didalamnya. Ini biasanya, bermula dan "dispute territorial" antar negara terutama mengenai garis batas perbatasan antar negara.

Hingga saat ini banyak negara menghadap persoalan perbatasan dengan tetangganya yang belum terselesaikan lewat perundingan. Bahkan kebiasaan menunda penyelesaian masalah justru menambah rumit persoalan. Beberapa persoalan perbatasan dan "dispute territorial" yang cukup mengusik harmonisasi antar negara maupun keamanan kawasan, antara lain;
a. Sengketa Indonesia dan Malaysia mengenai garis perbatasan di perairan laut Sulawesi menyusul perubahan status kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, dan garis perbatasan di pulau Kalimantan (salah satunya mengenai blok Ambalat);
b. Perbedaan pendapat dan kepentingan antara Indonesia, Australia dan Timor Leste di perairan Celah Timor;
c. Konflik historis antara Malaysia dan Filipina mengenai klaim Filipina atas wilayah Kesultanan Sabah Malaysia Timur;
d. Konflik antara Malaysia dan Singapura tentang pemilikan Pulau Batu Putih (Pedra Branca) di Selat Johor;
e. Ketegangan sosial politik laten Malaysia dan Thailand di wilayah perbatasan;
f. Perbedaan pendapat antara Malaysia dan Brunei mengenai batas wilayah tak bertanda di daratan Sarawak Malaysia Timur serta batas wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif;
g. Perbedaan pendapat antara Malaysia dan Vietnam mengenai batas wilayah di perairan lepas pantai dari masing-masing negara;
h. Konflik berlarut antara Myanmar dan Bangladesh di wilayah perbatasan;
i. Ketegangan antara Myanmar dan Cina mengenai batas wilayah kedua negara;
j. Sengketa Myanmar dan Thailand, mengenai perbatasan ke dua negara;
k. Sengketa berlaRut antara Cina dengan India mengenai perbatasan kedua negara;
l. Konflik antara Vietnam dan Kamboja di wilayah perbatasan kedua negara;
m. Sengketa antara Cina dan Vietnam tentang pemilikan wilayah perairan di sekitar Kepulauan Paracel;
n. Konflik laten antara Cina di satu pihak dengan Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, Vietnam di lain pihak sehubungan klaim cina atas seluruh perairan Laut Cina Selatan;
o. Konflik intensitas rendah (Low intensity) antara Cina dengan Filipina, Vietnam dan Taiwan mengenai status pemilikan wilayah perairan Kepulauan Spratly;
p. Konflik antara Cina dengan Jepang mengenai pemilikan Kepulauan Senaku (Diaoyutai);
q. Sengketa antara Cina dengan Korea Selatan mengenai pemilikan Liancourt Rocks (Take-shima atau Tak do) dibagian selatan laut Jepang;
r. Konflik antara Cina dengan Korea Selatan mengenai batas wilayah perairan teritorial;
s. Sengketa berlarut antara Rusia dengan Jepang mengenai status pemilikan Kepulauan Kuril Selatan;
t. Sengketa antara Cina dengan Taiwan sehubungan rencana reunifikasi seluruh wilayah Cina oleh RRC;
u. Sengketa India dan Pakistan mengenai status wilayah Kashmir.
Memperhatikan anatomi persengketaan di atas, maka tampak sebagian besar terjadi pada garis perbatasan di perairan laut.

II. 2 Indonesia dan Kepentingan Internasional
Indonesia tentu patut mewaspadai perkembangan yang terjadi di sekitarnya terutama di kawasan Asia Pasifik. Sebab konsekuensi letak geografis Indonesia dipersilangan jalur lalulintas internasional, maka setiap pergolakan berapa pun kadar intensitas pasti berpengaruh terhadap Indonesia. Apalagi jalur suplai kebutuhan dasar terutama minyak beberapa negara melewati perairan Indonesia. Jalur pasokan minyak dari Timur Tengah dan Teluk Persia ke Jepang dan Amerika Serikat, misalnya, sekitar 70% pelayarannya melewati perairan Indonesia. Karenanya sangat wajar bila berbagai negara berkepentingan mengamankan jalur pasokan minyak ini, termasuk di perairan nusantara, seperti, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar, Selat Ombai Wetar, dan lain-lain.
Pasukan Beladiri Jepang secara berkala dan teratur mengadakan latihan operasi jarak jauh untuk mengamankan area yang mereka sebut sebagai "life line," yakni, radius sejauh 1000 mil laut hingga menjangkau perairan Asia Tenggara. Hal yang sama juga dilakukan Cina, Australia, India, termasuk mengantisipasi kemungkinan terjadi penutupan jalur-jalur vital tersebut oleh negara-negara di sekitarnya (termasuk Indonesia.)
Keberadaan Indonesia dipersilangan jalur pelayaran strategis, memang selain membawa keberuntungan juga mengandung ancaman. Sebab pasti dilirik banyak negara. Karena itu sangat beralasan bila beberapa negara memperhatikan dengan cermat setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia. Australia misalnya, sangat kuatir bila Indonesia mengembangkan kekuatan angkatan laut, yang pada gilirannya dapat memperketat pengendalian efektif semua jalur pelayaran di perairan nusantara.
Patut diingat, penetapan sepihak selat Sunda dan selat Lombok sebagai perairan internasional oleh Indonesia secara bersama-sama ditolak oleh Amerika Serikat, Australia, Canada, Jerman, Jepang, Inggris dan Selandia Baru. Tentu apabila dua selat ini menjadi perairan teritorial Indonesia, maka semua negara yang melintas di wilayah perairan ini harus tunduk kepada hukum nasional Indonesia, tanpa mengabaikan kepentingan internasional.
Hal yang patut dicermati adalah kenyataan bahwa wilayah Indonesia yang saat ini terbelit konflik sosial berkepanjangan (manifes maupun latent) umumnya adalah daerah yang berada dijalur pelayaran internasional, seperti, Bali, Lombok, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Riau, Aceh, Papua dan lain-lain. Kenyataan ini patut diwaspadai karena tak tertutup kemungkinan adanya pihak luar yang bermain di dalam konflik yang terjadi di beberapa daerah ini. Selain itu jika Indonesia gagal mengatasinya, dan konflik yang terjadi berkembang menjadi ancaman bagi keselamatan pelayaran internasional, maka berdasarkan ketentuan internasional, negara asing diperbolehkan menurunkan satuan militernya di wilayah itu demi menjaga kepentingan dunia.
Dalam rangka pengamanan jalur-jalur strategis tersebut, sejumlah negara maju secara bersama-sama telah membentuk satuan reaksi cepat yang disebut "Stand By High Readness Brigade" (SHIRBRIG) berkekuatan 4000 personil yang selalu siap digerakkan ke suatu target sebagai "muscular peace keeping force."

II.3 Indonesia dan Asean
Selain terkait dengan kepentingan internasional, Indonesia juga ternyata menghadapi beberapa persoalan dengan negara anggota Asean lainnya. Penyebabnya selain karena perbedaan kepentingan masing-masing negara yang tak dapat dipertemukan, juga karena berbagai sebab lain yang muncul sebagai akibat dinamika sosial politik dimasing-masing negara. Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina, mungkin saja bisa bekerjasama dalam mengatasi persoalan aksi terorisme di kawasan ini. Namun, sikap masing-masing negara tentu akan berbeda dalam soal tenaga kerja illegal, illegal loging, pelanggaran batas wilayah dalam penangkapan ikan, dan sebagainya.
Hal yang sama juga bisa terjadi dengan Singapura dalam soal pemberantasan korupsi, penyelundupan dan pencucian uang. Sedangkan dengan Timor Leste masalah pelanggaran hak asasi manusia dimasa lampau dan lalulintas perbatasan kerap masih jadi ganjalan bagi harmonisasi hubungan kedua negara.
Mengenai pengendalian pelayaran di kawasan Asia Tenggara, hingga kini Singapura tetap keras menolak usulan Indonesia untuk mengalihkan sebagian lalu lintas pelayaran kapal berukuran besar dari Selat Malaka ke Selat Lombok/Selat Makasar. Padahal jalur pelayaran di selat ini tidak hanya dipergunakan untuk armada niaga tetapi juga bagi kapal perang. Dan Indonesia tentu ikut terganggu bila kapal-kapal perang dari dua negara yang sedang bertikai berpapasan di perairan Indonesia.
Dalam satu dekade terakhir tampak adanya upaya beberapa negara Asean telah melipatgandakan kekuatan militernya. Terutama Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Dari beberapa data tampak bahwa dalam aspek persenjataan, Thailand menunjukkan peningkatan yang signifikan diantara negara-negara di Asia Tenggara. Untuk memperkuat angkatan laut, misalnya negara gajah putih ini telah memiliki kapal perang canggih, dan siap beroperasi hingga sejauh di atas 200-300 mil demi mengamankan kepentingan negaranya. Tentu, termasuk menjaga keselamatan nelayan Thailand yang banyak beroperasi di perairan teritorial Indonesia.
Malaysia juga tak ketinggalan menambah armada perangnya. Angkatan Tentara Laut Diraja Malaysia, setidaknya dengan memiliki beberapa freegat dan korvet baru. Dengan penambahan kekuatan, kedua negara tersebut sangat berpeluang jadi mitra negara-negara maju demi mengimbangi Indonesia dalam soal pengamanan kawasan Asia Tenggara.
Dengan berbagai perkembangan itu, maka tantangan Indonesia dalam aspek pertahanan dan keamanan negara menjadi beban yang cukup berat. Indonesia selain dituntut mampu mempertahankan keamanan dalam negerinya, juga mesti dapat memainkan peran yang berarti demi terpeliharanya keamanan regional di Kawasan Asia Pasifik. Padahal disisi lain, kekuatan elemen pertahanan dan keamanan Indonesia tidak dalam kondisi prima. Baik dari aspek kemampuan sumber daya manusianya maupun dari segi kesiapan materil dan dukungan finansial. Inilah kondisi dilematis yang dihadapi Indonesia dewasa ini yang patut segera dicari jalan keluarnya.

II.4 Permasalahan Kawasan Perbatasan

Tentunya, pasti ada penyebab yang memicu terjadinya permasalahan pada kawasan perbatasan. Berikut faktor-faktor penyebabnya:
1. Kesenjangan ekonomi dengan negara tetangga yang semakin tajam dari waktu ke waktu.
2. Pergeseran batas wilayah negara (termasuk patok-patok) yang cenderung merugikan kepentingan ekonomi dan membahayakan kedaulatan RI (misal kasus Sipadan – Ligitan yang telah lepas atau kasus P. Miangas di Kep. Satal–Sulut yang rawan sengketa).
3. Semakin maraknya illegal fishing, illegal logging, illegal labour dan berbagai penyelundupan lainnya dari kota-kota perbatasan (misal Nunukan–Malaysia, Tahuna-Davao, Batam–Singapura, Dumai–Malaysia, dsb), yang mengakibatkan hilangnya potensi devisa RI yang cukup besar.
4. Pelayanan prasarana dan sarana wilayah pada pulau-pulau kecil pada kawasan perbatasan laut masih sangat terbatas sehingga kawasan tersebut menjadi relatif terisolir.
5. Potensi ekonomi pulau-pulau kecil pada kawasan perbatasan belum dikembangkan secara optimal, misalnya potensi pengembangan sektor-sektor unggulan, pusat-pusat pertumbuhan, berikut outletoutletnya.

II.5 Kronologis Sengketa Indonesia–Malaysia

Seperti yang telah kita ketahui, pihak Indonesia dan Malaysia bersengketa atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Berikut adalah catatan mengenai perjuangan mereka demi meraih kedua pulau tersebut:

Tahun Peristiwa
1969 Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan muncul pertama kali pada perundingan mengenai batas landas kontinen antara RI dan Malaysia di Kuala Lumpur (9-12 September 1969). Hasil Kesepakatan: kedua pihak agar menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kedua pulau itu sampai penyelesaian sengketa.

1970 Malaysia melakukan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau tersebut kedalam wilayah nasionalnya, dan beberapa tahun kemudian melakukan pembangunan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas wisata di kedua pulau itu.

1989 Pembahasan sengketa oleh Presiden RI Soeharto dan PM Malaysia Mahathir Muhammad di Yogyakarta, tahun 1989. Hasil kesimpulan: sengketa mengenai kedua pulau tersebut sulit untuk diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral.

1997 Kedua pihak sepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional dengan
menandatangani dokumen "Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice on the Dispute between Indonesian and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan" di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997.

1998 Pada tanggal 2 November 1998, kesepakatan khusus yang telah ditandatangani itu kemudian secara resmi disampaikan kepada Mahkamah Internasional, melalui suatu "joint letter" atau notifikasi bersama.

2000 Proses argumentasi tertulis ("written pleadings") dari kedua belah pihak dianggap rampung pada akhir Maret 2000 di Mahkamah Internasional. Argumentasi tertulis itu terdiri atas penyampaian "memorial", "counter memorial", dan "reply" ke Mahkamah Internasional.

2002 Proses penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah Internasional memasuki tahap akhir, yaitu proses argumentasi lisan ("oral hearing"), yang berlangsung dari tanggal 3-12 Juni 2002. Pada kesempatan itu, Menlu Hassan Wirajuda selaku pemegang kuasa hukum RI, menyampaikan argumentasi lisannya ("agent’s speech"), yang kemudian diikuti oleh presentasi argumentasi yuridis yang disampaikan Tim Pengacara RI. Mahkamah Internasional kemudian menyatakan bahwa keputusan akhir atas sengketa tersebut akan ditetapkan pada Desember 2002. Pada tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional di Den Haag menetapkan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Kerajaan Malaysia atas dasar “efektivitas” karena Malaysia telah melakukan upaya administrasi dan pengelolaan konservasi alam di kedua pulau tersebut.


BAB III
PENUTUP

III. 1 Kesimpulan

Dari beberapa sengketa yang terjadi di Asia Pasifik dapat disimpulkan bahwa ternyata banyak negara-negara yang tidak menginginkan apabila Indonesia mengembangkan wilayah pelayaran. hal tersebut membuktikan bahwa negara-negara yang melalui jalur pelayaran Indonesia sama-sekali tidak mau patuh terhadap peraturan negara kita. hal tersebut sudah sangat membuktikan bahwa negara-negara tersebut tidak mau mengakui peraturan di negara kita, tentu saja hal itu dapat merugikan kita sebagai warga negara Indonesia kerena dapat mempersempit wilayah pelayaran di Indonesia.

III.2 Saran

Hingga saat ini banyak negara menghadap persoalan perbatasan dengan tetangganya yang belum terselesaikan lewat perundingan.Bahkan kebiasaan menunda penyelesaian masalah justru menambah rumit persoalan. Beberapa persoalan perbatasan dan "dispute territorial" yang cukup mengusik harmonisasi antar negara maupun ke-amanan kawasan. diharapkan pemerintah memikirkan cara-cara yang yang lebih efektif agar dapat menguasai jalur pelayaran yang telah menjadi hak milik Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala/ArtikelCakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/articl
eId/66/Default.aspx, diakses tanggal 19 Juli 2007.
http://penataanruang.pu.go.id/taru/Makalah/PulauKecil.doc, diakses tanggal 19 Juli 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar